Empat Jenis Adat di Minangkabau ( ADAT ISTIADAT MINANGKABAU
)
Adat
Minangkabau terdiri atas empat jenis yaitu :
1. Adat nan sabana Adat
2. Adat nan diadatkan oleh nenek moyang.
- Kedua jenis Adat pada 1 dan 2 hukumnya babuhua mati (tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun ).
3. Adat teradat.
4. Adat Istiadat.
-Kedua jenis Adat pada 3 dan 4 hukumnya babuhua sentak (boleh dirobah-robah asal dengan melalui musyawarah mufakat).
1. Adat nan sabana adat.
a. Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam benda, flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan sabana Adat ini adalah sebagai SUMBER hukum Adat Minangkabau dalam menata masyarakat dalam segala hal. Dimana ketentuan alam tersebut adalah aksioma tidak bisa dibantah kebenarannya. Sebagai contoh dari benda Api dan Air, ketentuannya membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat dengan sifat tersebut, kecuali Allah sebagai sang penciptanya menentukan lain (merobahnya).
b. Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati, dipelajari dan dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar seperti yang disebutkan dalam pepatah-petitih Adat :
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik,
nan sakapa jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.
2. Adat nan diadatkan oleh nenek-moyang.
a. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya diatas yakni dengan meneliti, mempedomani, mempelajari alam sekitarnya oleh nenek-moyang orang Minangkabau, maka disusunlah ketentuan-ketentuan alam dengan segala fenomena-fenomenanya menjadi pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat dengan mengambil perbandingan dari ketentuan alam tersebut, kemudian dijadikan menjadi kaidah-kaidah sosial untuk menyusun masyarakat dalam segala bidang seperti : ekonomi, sosial budaya, hukum, politik, keamanan, pertahanan dan sebagainya.
b. Karena pepatah-petitih tersebut dicontoh dari ketentuan alam sesuai dengan fenomenanya masing-masing, maka kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan sumbernya tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun. Justru kedua jenis Adat pada huruf a dan b karena tidak boleh dirobah-robah disebut dalam pepatah :
Adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan,
dianjak tak layua, dibubuik tak mati,
dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi.
Artinya adalah Kebenaran dari hukum alam tersebut . Selama Allah SWT, sebagai sang pencipta ketentuan alam tersebut tidak menentukaan lain, maka ketentuan alam tersebut tetap tak berobah.
contoh pepatah :
lawik barombak, gunuang bakabuik,
lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku,
karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo .
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Adat nan diadatkan nenek moyang adalah merupakan pokok-pokok hukum dalam mengatur masyarakat MinangKabau dalam segala hal, yang diadatkan semenjak dahulu sampai sekarang. Uraian secara agak mendasar kita kemukakan dalam halaman selanjutnya pada kaidah-kaidah dalam pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun, dan gurindam Adan nantinya. Pepatah-petitih, mamang bidal, pantun dan gurindam Adat yang disusun dari ketentuan-ketentuan alam dengan dengan segala fenomenanya itu berguna untuk mengungkapkan segala segala sesuatu dalam pergaulan seperti : Menyuruh, melarang, membolehkan, ke-baikan, keburukan, akibat yang baik, akibat yang buruk, kebenaran, keadilan, kemakmuran, kerusuhan, kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan, bahaya yang menimpa, kesenangan, kekayaan, kemiskinan, kepemimpinan, kepedulian, rasa sosial, keluarga, masyarakat, moral dan akhlak, dan sebagainya.
3. Adat Teradat
a. Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat dalam suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan aturan-aturan pokok tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan pokok yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang dahulunya. Sebagai contoh kita kemukakan beberapapepatah-petitih, mamang, bidal, Adat yang telah diadatkan oleh nenek moyang tersebut diatas seperti :
Abih sandiang dek Bageso, Abih miyang dek bagisiah.
Artinya nenek-moyang melalui pepatah ini melarang sekali-kali jangan bergaul bebas antara dua jenis yang berbeda sebelum nikah (setelah Islam) atau kawin (sebelum Islam).
- Untuk terlaksananya ketentuan larangan ini oleh anggota masyarakat, maka pemimpin-pemimpin adat di suatu nagari bermusyawarah untuk mufakat dengan hasil mufakat bulat. Dilarang bagi kaum wanita remaja keluar malam setelah jam delapan, kecuali ditemani oleh orang tuanya. Peraturan ini hanya berlaku di nagari tersebut saja, belum tentu tidak berlaku pada nagari lainnya. (disebut juga Adat Salingka nagari).
lain nagari lain adatnyo, lain padang lain belalangnyo,
lain lubuak lain ikannyo.
- Setiap perkawinan kaidah pokok dari nenek-moyang
ayam putiah tabang siang, basuluah matohari,
bagalanggang mato rang banyak, datang bajapuik pai baanta,
arak sapanjang labuah, iriang sapanjang jalan.
Untuk pelaksanaan aturan pokok tentang perkawinan ini, maka nagari-nagari penghulunya membuat peraturan pelaksanaan melalui musyawarah mufakat. Ada dengan ketentuan ada nagari yang membuat keputusan pelaksanaan jemput antar disiang hari, ada pula dimalam hari dengan mengutamakan seluruh masyarakat mengetahui bahwa sipolan dengan sipolin telah nikah. Ada pula keputusan penghulu disuatu nagari yang membuat peraturan seperti : Kedua marapulai diarak dengan pakaian yang diatur pula dengan musyawarah. Aturan Adat ini belum tentu sama dengan aturan nagari lainnya.
b. Begitupun peresmian SAKO(gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang memotong kerbau, ada banteng, ada kambing, ada dengan membayar uang adat kenagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. dan lain sebagainya.
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo.
4. Adat Istiadat
1. Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu disuatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan KESUKAAN anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan kerumah mempelai, begitupun helat jamu meresmikan S a k o itu tadi. Begitu pula Marawa, ubur-ubur, tanggo, gabah-gabah, pelamina dan sebagainya yang berbeda-beda disetiap nagari. Juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo,
lain nagari lain adatnyo (Istiadatnya) .
2. Kedua jenis adat nan teradat dan Adat Istiadat tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari aturan-aturan pokok yang telah diciptakan oleh nenek-moyang, dimana dua macam jenis huruf c dan d Adat nan babuhua sentak artinya : aturan Adat yang dapat dirobah, dikurangi, ditambah dengan melalui musyawarah mufakat dan selama tidak bertentangan dengan pokok hukum yang telah dituangkan dalam pepatah-petitiah ciptaan nenek-moyang (kato Pusako) Adat.
Namun keempat jenis Adat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, secara utuh disebut ( ADAT ISTIADAT MINANGKABAU ).
1. Adat nan sabana Adat
2. Adat nan diadatkan oleh nenek moyang.
- Kedua jenis Adat pada 1 dan 2 hukumnya babuhua mati (tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun ).
3. Adat teradat.
4. Adat Istiadat.
-Kedua jenis Adat pada 3 dan 4 hukumnya babuhua sentak (boleh dirobah-robah asal dengan melalui musyawarah mufakat).
1. Adat nan sabana adat.
a. Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam benda, flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan sabana Adat ini adalah sebagai SUMBER hukum Adat Minangkabau dalam menata masyarakat dalam segala hal. Dimana ketentuan alam tersebut adalah aksioma tidak bisa dibantah kebenarannya. Sebagai contoh dari benda Api dan Air, ketentuannya membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat dengan sifat tersebut, kecuali Allah sebagai sang penciptanya menentukan lain (merobahnya).
b. Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati, dipelajari dan dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar seperti yang disebutkan dalam pepatah-petitih Adat :
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik,
nan sakapa jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.
2. Adat nan diadatkan oleh nenek-moyang.
a. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya diatas yakni dengan meneliti, mempedomani, mempelajari alam sekitarnya oleh nenek-moyang orang Minangkabau, maka disusunlah ketentuan-ketentuan alam dengan segala fenomena-fenomenanya menjadi pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat dengan mengambil perbandingan dari ketentuan alam tersebut, kemudian dijadikan menjadi kaidah-kaidah sosial untuk menyusun masyarakat dalam segala bidang seperti : ekonomi, sosial budaya, hukum, politik, keamanan, pertahanan dan sebagainya.
b. Karena pepatah-petitih tersebut dicontoh dari ketentuan alam sesuai dengan fenomenanya masing-masing, maka kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan sumbernya tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun. Justru kedua jenis Adat pada huruf a dan b karena tidak boleh dirobah-robah disebut dalam pepatah :
Adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan,
dianjak tak layua, dibubuik tak mati,
dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi.
Artinya adalah Kebenaran dari hukum alam tersebut . Selama Allah SWT, sebagai sang pencipta ketentuan alam tersebut tidak menentukaan lain, maka ketentuan alam tersebut tetap tak berobah.
contoh pepatah :
lawik barombak, gunuang bakabuik,
lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku,
karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo .
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Adat nan diadatkan nenek moyang adalah merupakan pokok-pokok hukum dalam mengatur masyarakat MinangKabau dalam segala hal, yang diadatkan semenjak dahulu sampai sekarang. Uraian secara agak mendasar kita kemukakan dalam halaman selanjutnya pada kaidah-kaidah dalam pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun, dan gurindam Adan nantinya. Pepatah-petitih, mamang bidal, pantun dan gurindam Adat yang disusun dari ketentuan-ketentuan alam dengan dengan segala fenomenanya itu berguna untuk mengungkapkan segala segala sesuatu dalam pergaulan seperti : Menyuruh, melarang, membolehkan, ke-baikan, keburukan, akibat yang baik, akibat yang buruk, kebenaran, keadilan, kemakmuran, kerusuhan, kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan, bahaya yang menimpa, kesenangan, kekayaan, kemiskinan, kepemimpinan, kepedulian, rasa sosial, keluarga, masyarakat, moral dan akhlak, dan sebagainya.
3. Adat Teradat
a. Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat dalam suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan aturan-aturan pokok tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan pokok yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang dahulunya. Sebagai contoh kita kemukakan beberapapepatah-petitih, mamang, bidal, Adat yang telah diadatkan oleh nenek moyang tersebut diatas seperti :
Abih sandiang dek Bageso, Abih miyang dek bagisiah.
Artinya nenek-moyang melalui pepatah ini melarang sekali-kali jangan bergaul bebas antara dua jenis yang berbeda sebelum nikah (setelah Islam) atau kawin (sebelum Islam).
- Untuk terlaksananya ketentuan larangan ini oleh anggota masyarakat, maka pemimpin-pemimpin adat di suatu nagari bermusyawarah untuk mufakat dengan hasil mufakat bulat. Dilarang bagi kaum wanita remaja keluar malam setelah jam delapan, kecuali ditemani oleh orang tuanya. Peraturan ini hanya berlaku di nagari tersebut saja, belum tentu tidak berlaku pada nagari lainnya. (disebut juga Adat Salingka nagari).
lain nagari lain adatnyo, lain padang lain belalangnyo,
lain lubuak lain ikannyo.
- Setiap perkawinan kaidah pokok dari nenek-moyang
ayam putiah tabang siang, basuluah matohari,
bagalanggang mato rang banyak, datang bajapuik pai baanta,
arak sapanjang labuah, iriang sapanjang jalan.
Untuk pelaksanaan aturan pokok tentang perkawinan ini, maka nagari-nagari penghulunya membuat peraturan pelaksanaan melalui musyawarah mufakat. Ada dengan ketentuan ada nagari yang membuat keputusan pelaksanaan jemput antar disiang hari, ada pula dimalam hari dengan mengutamakan seluruh masyarakat mengetahui bahwa sipolan dengan sipolin telah nikah. Ada pula keputusan penghulu disuatu nagari yang membuat peraturan seperti : Kedua marapulai diarak dengan pakaian yang diatur pula dengan musyawarah. Aturan Adat ini belum tentu sama dengan aturan nagari lainnya.
b. Begitupun peresmian SAKO(gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang memotong kerbau, ada banteng, ada kambing, ada dengan membayar uang adat kenagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. dan lain sebagainya.
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo.
4. Adat Istiadat
1. Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu disuatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan KESUKAAN anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan kerumah mempelai, begitupun helat jamu meresmikan S a k o itu tadi. Begitu pula Marawa, ubur-ubur, tanggo, gabah-gabah, pelamina dan sebagainya yang berbeda-beda disetiap nagari. Juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo,
lain nagari lain adatnyo (Istiadatnya) .
2. Kedua jenis adat nan teradat dan Adat Istiadat tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari aturan-aturan pokok yang telah diciptakan oleh nenek-moyang, dimana dua macam jenis huruf c dan d Adat nan babuhua sentak artinya : aturan Adat yang dapat dirobah, dikurangi, ditambah dengan melalui musyawarah mufakat dan selama tidak bertentangan dengan pokok hukum yang telah dituangkan dalam pepatah-petitiah ciptaan nenek-moyang (kato Pusako) Adat.
Namun keempat jenis Adat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, secara utuh disebut ( ADAT ISTIADAT MINANGKABAU ).
Pakaian Adat Minang Kabau dan Penjelasannya
Pakaian Adat Minangkabau dan Penjelasannya
Pakaian Adat Minangkabau dan
Penjelasannya-Pakaiaan adat khas Minangkabau Sumatra Barat sangatlah
feminim bila dilihat dari sudut busananya. Pakaian Khas Sumatra Barat di bagi
menjadi dua yaitu : Pakaian Tradisional dari Minangkabau dan Pakaian Bundo
Kanduang. Produk yang kami iklankan ini merupakan bagian dari Pakaian Bundo
Kanduang. Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek
sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan Pandai Sikat
Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing
berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan
bahwa perempuan sebagai pemilik rumah
gadang.Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.
gadang.Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.
Pakaian Adat Minangkabau sebagai Pakaian Pengantin
Pakaian adat merupakan pelengkap bagi sebuah pernikahan
adat, beberapa tradisi di Indonesia tetap memegang teguh pakain adat ini untuk
nantinya diwariskan kepada anak cucunya. Kita ketahui bersama bahwa suku di
Indonesia sangat beragam, oleh karena itu pernikahanadat.blogspot.com akan
berusaha mencari dan membantu para calon pengantin yang ingin mengetahui
tentang busana pernikahan adat di daerahnya.
Pakaian Minangkabau sebagai Pakaian Pengantin
Dalam alek di minangkabau pada umumnya pengantin wanita
menggunakan suntiang. Suntiang adalah hiasan kepala pengantin perempuan di
Minangkabau atau Sumatra Barat. Hiasan yang besar warna keemasan atau keperakan
yang khas itu, membuat pesta pernikahan budaya Minangkabau berbeda dari budaya
lain di Indonesia. Perempuan minangkabau mesti bangga dengan budaya
minangkabau, terutama soal pakaian pengantin. secara turun temurun, busana
pengantin Minangkabau sangat khas, terutama untuk perempuannya, yaitu selain
baju adat-nya baju kurung panjang dan sarung balapak, tak ketinggalan sunting.
Sedangkan untuk hiasan kepala sebenarnya beragam bentuknya.
Saat ini, hiasan kepala "Suntiang Kambang” asal Padang Pariaman lah yang
di lazim digunakan di Sumatera Barat. Padahal ada banyak bentuk hiasan kepala,
ada yang berupa sunting Pisang Saparak (Asal Solok Salayo), Sunting Pinang
Bararak(Dari Koto nan Godang Payakumbuh), Sunting Mangkuto (dari Sungayang),
Sunting Kipeh (Kurai Limo Jorong), Suntiang Sariantan (Padang Panjang),
Suntiang Matua Palambaian, dll.
Tidak hanya sunting, di beberapa daerah juga mengenakan
Tikiluak Tanduak dengan beragam bentuk, seperti tikuluak tanduak batipua,
tanduak lilik (payakumbuh), Tanduak Balenggek dari Sungayang, Tanduang dari
Lintau Buo, termasuak Tikuluak Kecubung dari Magek. Dan ada yang hanya berupa
kain yang di lekapkan ke kepala, yaitu tengkuluk khusus yang disebut talakuang
serta baju kurung yang disebut Batabue atau Bertabur, seperti di Koto Gadang.
Sayangnya, beragam hiasan tersebut sudah jarang digunakan. Disamping karena
ketidak laziman juga karena ketidak tahuan kita. Sehingga, hanya Suntiang
Gadang lah yang dianggap betul-betul baju Anak Daro di Minangkabau.
Suntiang sendiri dirangkai menggunakan kawat ukuran satu
perempat yang dipasang pada kerangka seng aluminium seukuran kepala. Pada kawat
itu dipasang sedikitnya lima jenis hiasan. Kelima hiasan itu dinamakan suntiang
pilin, suntiang gadang, mansi-mansi, bungo, dan jurai-jurai. Besarnya sebuah
suntiang diukur dengan jumlah mansi atau kawat. Suntiang paling besar ukurannya
25 mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi yang paling umum dipakai saat ini.
Suntiang yang dibuat juga dibagi tiga jenis berdasarkan bahan. Yang lebih berat
dan mahal yang masih dibuat saat ini terbuat dari mansi padang (sejenis seng
aluminium kuningan). Kemudian mansi kantau atau biasa, dan yang sekarang mulai
banyak dipakai, terutama untuk pelajar, suntiang dari plastik yang jauh lebih
ringan. Tapi yang paling bagus sebaiknya nanti dibuat dari titanium, sayangnya
masih mahal.
Suntiang tidak terlepas dari perangkatan pakaian limpapeh
Rumah nan Gadang di Minangkabau. Suntiang ini dipakai oleh anak gadis yang
berpakaian adat maupun oleh pengantin wanita. Mengenai jenis dan nama suntiang
ini berbagai ragam. Secara garis besar jenis suntiang ini adalah sbb :
1. Suntiang bungo pudieng (suntiang berbunga
puding)
2. Suntiang pisang saparak (suntiang pisang
sekebun)
3. Suntiang pisang saikek (suntiang pisang
sesisir)
4. Suntiang kambang loyang (suntiang pisang
sesisir)
Dari segi ikat (dandanan) dengan segala variasinya suntiang
ini dapat pula dibedakan, suntiang ikat pesisir, suntiang ikat Kurai, suntiang
ikat Solok Selayo, suntiang ikat Banuhampu Sungai Puar, suntiang ikat Lima
Puluh Kota, suntiang ikat Sijunjung Koto Tujuh, suntiang ikat Batipuh X Koto,
suntiang ikat Sungayang, dan Lintau Buo.
Suntiang ikat bungo pudieng banyak dipakai didaerah Batipuh
Tanah Datar. Suntiang pisang separak banyak dipakai didaerah Luhak Lima Puluh
Kota, Solok, Sijunjung Koto Tujuh, dan Sungai pagu. Suntiang pisang sasikek
banyak dipakai di daerah Pesisir. Suntiang kambang loyang banyak dipakai di
daerah lain.
Untuk baju, Minangkabau hanya mengenal dua jenis baju, yaitu
baju kurung basiba dan baju kurung melayu (kebaya panjang). Baju ke dua ini
lazim digunakan di daerah psisir barat, parang dan pariaman. Demikian juga
halnya dengan warna, baju adat MinangKabau punya warna-warna pakem yang menjadi
ciri khasnya. baju kurung warna merah dan gold sebagai ciri daerah Padang dan
warna hitam sebagai ciri daerah Solok.
Baju-baju adat MinangKabau yang biasanya adalah semacam baju
kurung yang longgar (tidak ketat), tebal (tidak transparan, tidak menerawang,
tidak tembus pandang), sopan, tertutup mulai dari leher sampai ke mata kaki dan
dihiasi dengan tutup kepala yang bentuknya beraneka ragam sesuai dengan daerah
asal yang lebih spesifik. Oleh karena baju adat minangkabau yang cenderung
tertutup, longgar dan tidak transparan ini, maka sangat mudah memadukannya
dengan jilbab tanpa menghilangkan unsur budaya aslinya.
Perlengkapan pakaian adat Limpapeh Rumah Nan Gadang dibuat
oleh orang Minangkabau sendiri. Ada daerah yang cukup terkenal dengan pandai
sulam ini di Minangkabau seperti Padang, Pariaman, Tanjung Sungayang, Batipuh
Bunga Tanjung, Koto Gadang, Payakumbuh. Sedangkan Pandai Sikat terkenal dengan
tenunan kain upieh (kain balapak). Bukittinggi terkenal sebagai tempat penjual
suntiang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Umumnya biro tata rias anak daro di
seluruh Sumatera Barat, bahkan di luar provinsi itu, termasuk Jakarta membeli
suntiang ke toko-toko di Bukittinggi. Tapi, suntiang sendiri sebenarnya dibuat
sekelompok perajin di Kampung Pisang, Kecamatan Empat Koto, Kabupaten Agam.
Sayang, hal ini tak banyak diketahui orang.
Makna Simbolik yang Terkandung dalam Busana Adat Minangkabau
1. Busana Bagian Atas
Tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala
yang terbuat dari kain balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk
(runcing) yang berumai emas atau loyang sepuhan. Makna simbolik dari
perlengkapan ini adalah kepemilikan rumah gadang. Artinya, orang yang mengenakannya
adalah bundo kanduang (pemilik suatu rumah gadang).
2. Busana Bagian Tengah
Baju kurung dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung
yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik,
terutama minsai-nya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi
batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang
diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang
bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
3. Busana Bagian Bawah
Kain sarung (kodek) balapak bersulam emas bermakna simbolik
kebijaksanaan. Artinya, seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu
pada tempatnya, sebagaimana yang diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis,
menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang”.
4. Perhiasan
Selain pakaian ada pula beberapa perhiasan atau aksesoris
yang digunakan oleh bundo kanduang. Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat
kaluang (kalung) yang terdiri dari sembilan macam bentuk, seperangkat gelang
dan cincin yang juga terdiri dari bermacam bentuk. Perhiasan-perhiasan tersebut
pada umumnya terbuat dari bahan emas dan batu alam. Perhiasan seperti
seperangkat kaluang dan galang serta cincin memiliki perbedaan yang khusus jika
dibandingkan dengan perhiasan wanita pada umumnya, sebab merupakan
simbol-simbol yang mengandung norma-norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa
perhiasan yang dikenakan oleh bundo kanduang tidak hanya berfungsi untuk memperindah
penampilan, melainkan juga memiliki makna tertentu yang terkait dengan adat
istiadat Minangkabau. Kalung dan gelang tersebut hanya dipakai pada saat
dilaksanakan upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala
kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat. Berikut ini adalah beberapa macam
perhiasan (kalung, gelang dan cincin) yang biasa digunakan oleh bundo kanduang
di dalam melaksanakan upacara adat.
Nilai Luhur yang terkandung dalam Pakaian Adat Minangkabau
Fungsi busana bagi seseorang tidak hanya sekedar sebagai
pelindung tubuh dari cuaca dingin dan teriknya sinar matahari, tetapi juga
mempunyai fungsi lain dalam struktur sosial suatu masyarakat. Dari busana yang
dikenakan oleh seseorang dapat diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam
masyarakatnya. Pada masyarakat Minangkabau misalnya, busana adat yang dikenakan
oleh para pemangku adat (datuk dan sutan) berbeda dengan orang kebanyakan,
sehingga orang mengetahui secara persis status sosial si pemakainya. Demikian
juga busana yang dikenakan oleh bundo kanduang berbeda dengan perempuan
kebanyakan. Busana yang dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar
busana, tetapi di baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilai-nilai
yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai
itu adalah: kepimpinan, keteguhan dan kebertanggung-jawaban, kebijaksanaan,
kehematan, kerja keras, ketauladan, ketaqwaan, pengayoman, dan ketaatan.
Nilai kepemimpinan tercermin dalam makna simbolik penutup
kepala disebut tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek. Penutup kepala ini adalah
sebagai simbol seorang pemimpin dalam rumah gadang.
Nilai keteguhan dan kebertanggung-jawaban tercermin dalam
makna simbolik minsai dan balapak. Minsai adalah simbol bahwa seorang bundo
kandung dan kaumnya tahu persis tentang adat dan tidak boleh melanggarnya.
Sedangkan, balapak adalah simbol penerus keturunan. Artinya, seorang bundo
kandung bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
Nilai kebijaksanaan tercermin dalam makna simbolik kain
sarung (kodek) balapak bersulam emas, yaitu seorang bundo kanduang harus dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan, nilai kehematan tercermin dalam
makna simbolik dukuah nasura, yaitu orang hidup mesti dapat menerapkan sikap
mental hemat.
Nilai kerja keras tercermin dalam makna simbolik dukuah
palam, yaitu hidup tidak boleh menyerah (pasrah) tetapi harus berpikir, berbuat
dan berjuang untuk memperoleh sesuatu demi kesejahteraan manusia.
Nilai ketauladanan tercermin dalam makna simbolik dukuah
uang dukat, yaitu bundo kandung merupakan cermin seorang perempuan Minangkabau
yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
Nilai ketaqwaan tercermin dalam makna simbolik: dukuah
rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan Kaban gadang, Rukun
Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau, khususnya yang
menganut agama Islam.
Nilai pengayoman tercermin dalam makna simbolik galang ula
tigo balik, yaitu paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh anak
kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang diharapkan
dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
Nilai Ketaatan tercermin dalam makna simbolik galang gadang,
yaitu sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan
oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak
atau panghulu. (gufron)
Mengikuti Acara Baralek Minang di Baso, Agam Sumatera Barat
1 Vote
Saya baru saja menghadiri pesta perkawinan adat
minang atau yang biasa dikenal dengan nama Baralek, Bisa juga ditambahi akhiran
Baralek Gadang jika pestanya diadakan secara meriah dan memiliki banyak
prosesi. Namun orang minang biasanya hanya menyebut dengan Baralek jika
diadakan secara sederhana. Rupanya acara baralek ini sudah memiliki pakem
tradisi tersendiri yang secara turun temurun diwarisi oleh adat. Namun bisa
saja setiap nagari memiliki perbedaan dalam penyelenggaraannya.
Kali ini saya khusus datang menghadiri baralek
Suwatril Anton Rajo Bagindo dengan Zahratul Aini di salah satu daerah Kabupaten
Agam yaitu di Jorong Sungai Janiah Baso, Sumatera Barat. Karena acaranya sudah
dimulai sejak kamis (20/12/2012) sedangkan saya baru bisa hadir jum’at (21/12/2012)
maka saya cuma bisa hadir di acara baralek Marapulai alias pesta resepsi di
rumah mempelai pria. Sebagaimana umumnya pesta pernikahan, baralek merupakan
pesta penting yang diadakan oleh keluarga mempelai.
Saya sendiri dalam rangka masih belajar adat
istiadat minang mengetahui bahwa di daerah Sumatera Barat acara pernikahan
disebut baralek (artinya
perhelatan). Kata baralek yang pada
mulanya dipersepsikan sebagai acara resepsi yang diselenggarakan setelah akad
nikah sekarang ini maknanya sudah bergeser. Kalimat bilo
baralek? dapat juga diartikan “kapan menikah?”. Nah kalimat
ini sering ditanyakan kepada saya…saya jawab Insya Allah tunggua
tangga mainnya sajo…hahaha
Yang saya kagum adalah acara baralek kali ini
diadakan di rumah bukan di gedung. Umumnya masyarakat Minang yang masih tinggal
di kampung tetap mempertahakan adat ini. Mereka akan mengundang tetangga untuk
masak bersama sebagai persiapan hidangan baralek. Nah disini sengaja dihidupkan
suasana rukun dan gotong royong bersama. Untuk pesta pernikahan sendiri saya
diceritakan bahwa masing-masing mempelai bisa mengadakan pesta sendiri-sendiri.Jadi, keluarga mempelai wanita
(disebut anak daro) mengadakan baralek sendiri
di rumahnya dan keluarga mempelai pria (disebut marapulai)
juga baralek di rumahnya.Ada baraleknya di hari yang sama namun
kebanyakan berbeda 1 atau 2 hari. Tapi itulah tradisi minang. Nah saya bingung
kalau baraleknya diadakan di hari yang sama bagaimana ya prosesnya?
Oh iya acara baralek sendiri dimulai dengan
proses manjapuik marapulai (menjemput
pengantin pria). Kenapa karena dalam adat minang masih menerapkan garis
matrilineal (garis ibu). Sehingga pengantin pria harus dijemput oleh keluarga
wanita untuk dijadikan urang sumando di
keluarga anak daro.Nah proses
menjemputnya dilakukan oleh pihak keluarga wanita tanpa anak
daro dengan membawa pakaian pengantin marapulai dan carano yang
berisi daun sirih, rokok, dan lain-lain, serta dua orang sumandan (dua
orang perempuan yang akan mendampingi marapulai).
Nah didalam rumah itu bagaikan istana yang
dihiasi banyak ornamen warna-warni khas minang. Sampai saya tidak menemukan
sedikit celahpun mana pintu dan dinding rumah karena semuanya ditutupi oleh
kain panjang yang umumnya berwarna emas dan merah. Didekat pintu masuk biasanya
akan ada sebuah pelaminan tempat bersanding pengantin yang biasanya tamu datang
pertama kali memberi ucapan selamat kemudian adalah makan bersama secara
hidangan di depan pelaminan.
Nah dalam acara baralek
tidak dikenal prasmanan dalam menyajikan makanan pesta.Hal ini sesuai dengan ketentuan adat
bahwa semua penyajian makanan harus di hidangkan dalam beberapa kelompok
undangan. Semua makanan tersaji dalam sebuah meja besar atau bisa juga diganti
dengan taplak meja panjang yang berisi menu-menu khusus khas Minang secara
lengkap.
Menunya mirip dengan restoran minang dengan
penyajian yang beraneka ragam mulai dari rendang, gulai daging dan ayam,
baluik, gulai buncis, dendeng balado, gulai ikan, dan lain-lain.Semuanya adalah
masakan orang kampung yang tentu saja rasanya jauh berbeda dengan restoran
Minang yang sering kita nikmati di pulau Jawa. Eh sebelumnya saya makan
menggunakan tangan tanpa sendok karena sendok cuma disediakan buat mengambil
hidangan saja. Jadi sebelum makan ada sebuah mangkuk kecil berisi air untuk
mencuci tangan sebelum dan sesudah yang khusus disediakan buat satu orang. Nah
biasanya mempelai akan melihat tamu yang datang sambil berkali-kali
bilang disuruh tambuah, tambuah,
dan tambuah lagi oleh tuan rumah.Yang ini membuat saya ketagihan ingin
mencoba semua makanan cuma tengsin ga enak sama keluarga marapulai akhirnya
bilang saja sudah kenyang hahahaha.
Nah setelah selesai makan, tamu akan berbincang
sebentar sambil menikmati sajian penutup berupa kue-kuedan buah-buahan yang
cuma ada saat baralek. Saya terlanjur
suka dengan kue randang bareh alias rendang beras yang rasanya mirip
sagon. Selama menikmati sajian penutup saya amati pakaian mempelai yang memang
mewah dan megah. Pakaian pengantin marapulai
mirip pakaian matador. Bukan mirip bahkan sama kayaknya. Atau hanya saya saja
beranggapan begitu ya? Eh bukan saya perhatikan kembali adalah gabungan antara
pakaian teluk belanga dan pakaian matador (ada sejarah yang bilang jika baju marapulai di
daerah Minang merupakan pengaruh kebudayaan Portugis di pesisir barat Sumatera
pada zaman orang Portugis menjelajahi dunia mencari rempah-rempah).
Sedangkan Anak daro memakai suntiang di
atas kepala, semacam mahkota dari ratusan helai lempeng kuningan yang disusun
seperti setengah lingkaran. Pertanyaannya berapa berat sesungguhnya suntiang itu?
hanya anak daro yang bisa
merasakannya. Eh jadi inget dulu pas nyokap nikah sama bokap juga menggunakan
pakaian kebesaran Minang.
Nah tanda lain untuk menunjukkan ke khalayak
ramai jika ada baralek adalah dengan adanya marawa.
Sejenis bendera khas Minang yang terdiri atas warna hitam, merah, dan kuning.
Di Pulau Jawa umumnya kita menggunakan hiasan janur kuning. Namun di Minang
cukup menggunakan umbul-umbul marawa sudah
cukup untuk memberi tanda adanya baralek. Ah suatu saat saya akan
menyelenggarakan baralek…..amiin. Saya mulai
menyukai adat minang dan budaya Indonesia sebagai warisan budaya bangsa dan
sekali lagi saya cinta Indonesia.
Selanjutnya saya berkeliling-keliling sekitar
Baso dan bercengkrama dengan penduduk setempat yang ramah-ramah. Mereka sangat
antusias dengan kedatangan saya terutama anak-anak. Indah memang lokasi
di ranah minang ini. Saya berharap suatu saat memiliki kampung halaman
yang indah ini dan menyukai penduduk yang sederhana.